03 Januari, 2010

Tips for investigative journalists

Top tips for investigating corruption.

By Don Ray
Don works as a multimedia investigative reporting consultant in Africa, the Balkans, Eastern Europe, the CIS and the Americas.


The tips, reproduced below, are the framework for some of the training modules he offers worldwide.

01. Bottom up approach

Essential for identifying the results of corruption and the fast-track pathway to the top levels - the evidence is always visible at the street level. (see the Malawi Observer for detailed examples).
Plotting the geometry of bribery and influence

Corruption always involves more than one person or point or a simple line between two entities. Understanding the flow of bribery, influence and extortion requires mapping the triangles, trapezoids, pentagons, etc., of relationships between the parties.
Developing and protecting essential sources

They are out there wishing they could find someone to trust with their information. Journalist must learn that the seduction process involves creating maximum trust, a fertile environment of factual verification and an understanding of the intrinsic rewards that sources require.

02. Determining the currency of the influence

The more sophisticated the laws and enforcement, the more sophisticated are the vehicles of bribery. It's rarely only money that changes hands. Journalists must learn to follow the trails of property, promotion, protection, privilege, payola and employment (of even distant family members).

03. Documenting the paper trail

Public records are essential, but alone they rarely map the complete picture. They're an essential beginning. They can provide subtle, telltale indications of the other documents or the people who can fill in the blanks.

04. Obstacles from within

Journalists in every country will encounter a certain amount of resistance from within their own media outlet. Unfortunately, the owners and managers of newspapers and radio/television stations and networks are either on the fringes of organized crime and corruption or they are card-carrying players. These situations require great awareness and delicate planning.

05. Getting it on the record

More than any other area of reporting, corruption investigations require unending verification and cross-checking. Reporters are easy targets of officials and operatives who are bent on using, manipulating or discrediting reporters. This is no place for "wishful authentication. "

06. Teaming up with trusted allies

There are countless ways of tapping into existing investigations and teaming up with groups or individuals who have already gathered valuable information. The Internet provides reporters with a worldwide network of experts and potential allies. Plus there are local organizations who are already investigating the people and organizations you'll encounter.

07. Dealing with threats and retaliation

This is not a line of work for everyone. Journalists must always be aware of how vulnerable they and their family members are. It's essential to know how to respond quickly and directly to threats - without throwing in the towel or immediately going into deep hiding.

08. Making the story relevant to the readers and viewers

Reporters tend to want to write about the elite, for the elite. The stories must, of course, zero in on the players at the top, but they must address the victims and accomplices at every level. In the end, the stories must be about people and they must paint pictures of the visible results of this often invisible force.


Source: http://www.mediahel pingmedia. org/content/ view/512/ 1/

Sepuluh Cara Menemukan Kembali Jurnalisme

Howard Owens dari GateHouse Media punya sepuluh cara bagi wartawan "menemukan kembali" jurnalisme. Berikut ini terjemahan dari artikelnya yang berjudul "Ten things journalists can do to reinvent journalism".

• Berhenti menulis untuk halaman depan. Terlalu banyak wartawan dan saya dulu juga begini sebagai reporter berpikir bahwa halaman depan adalah satu-satunya pembuktian kuat mereka sebagai wartawan. Pada web, tentu saja, tidak ada halaman depan hanya stempel waktu. Lebih baik menulis cerita yang benar ketimbang cemas di mana editor akan memuat cerita kita di edisi cetak.

• Berhenti memperlakukan jurnalisme seperti sebuah persaingan. Memang menyenangkan mengalahkan media lain, tapi itu tidak boleh jadi satu-satunya alasan mendapatkan cerita. Menginginkan setiap cerita supaya terbit lebih dulu dari pesaing akan berujung pada kesalahan, baik dalam pelaporan maupun proses berpikir bagaimana menangani cerita itu. Nilai ekonomi dari mengalahkan pesaing pada hari-hari ini bisa dibilang nol. Nilai sebagai sumber arus informasi yang terpercaya dalam jangka waktu lama adalah signifikan. Ini bukan sebuah poin yang bertentangan, kalau dipikir-pikir.

• Berhenti mengirimkan cerita anda ke perlombaan penulisan/pelaporan. Ini hanya akan mendorong anda menulis demi wartawan lain, bukan demi pembaca anda.

• Simak pembaca anda lebih baik lagi. Hargai setiap pujian kecil yang tulus. Jika itu berupa sebuah surat atau kartu pos, tempelkan di papan buletin anda; jika itu berupa email, cetaklah dan tempel juga di situ. Jadikan pujian tulus pembaca sebagai tujuan sehari-hari. Berhenti memandang sebelah mata kritikan yang mengeluh tentang setiap hal yang dilakukan koran anda.

• Masukkan lebih banyak orang dalam cerita anda dan lebih sedikit gelar. Saya akan mengarang sebuah aturan khusus ini, tetapi untuk setiap judul, anda harus mengutip dua orang yang tak punya gelar. Jadi, jika anda meliput dewan kota dan mengutip walikota dan anggota dewan, anda perlu juga memasukkan empat orang tanpa gelar. Orang biasa yang nyata. Berikan tekanan pada dampak yang dirasakan orang biasa, bukan hanya apa yang dikatakan orang tentang sebuah isu atau kejadian. Coba lihat berapa banyak cerita tentang dewan kota yang anda bisa tulis dalam sebulan tanpa sekalipun menyebut pejabat terpilih/yang ditunjuk.

• Jangan meliput proses. Liputlah cerita sebenarnya. Cerita sebenarnya memuat orang biasa, dengan hal-hal nyata yang hendak dikatakan, tentang hal nyata yang mempengaruhi kehidupan mereka.

• Kuasai subjek yang anda liput. Anda harus lebih paham liputan anda dari semua sumber. Ini akan menolong anda menghindari "konon katanya". Membuat anda lebih mampu menulis cerita yang dalam, dan memberi anda keyakinan untuk menambah perspektif. Anda juga akan bisa menggali lebih banyak cerita yang lebih baik lagi.

• Lupakan anggapan-palsu objektivitas. Sebaliknya, berusahalah adil, jujur, tak berpihak, dan akurat.

• Jadilah akurat. Selalu. Menjadi akurat bukanlah sekedar mendapatkan fakta yang benar. Dia membimbing pendekatan anda sepenuhnya terhadap sebuah cerita. Sebagian dari menjadi akurat artinya anda tidak pernah membesar-besarkan. Tidak pernah. Anda takkan pernah menggoreng konflik hanya supaya cerita halaman satu yang lebih keren. Anda takkan pernah memotong kutipan supaya jadi lebih dramatis, atau mengutak-atiknya demi menekankan sebuah hal.

Liputlah masyarakat anda layaknya kampung halaman anda dan semoga saja iya libatkan diri anda dalam masyarakat dan pedulikan orang-orangnya. Meski kenyataan bisa saja mengganggu, dan anda bisa saja harus pindah suatu hari nanti, setidaknya ketika anda sedang meliput sekelompok masyarakat, bangunlah pemikiran bahwa anda akan tinggal selamanya meliput kota ini, atau topik ini.

Sumber: Milis Jurnalisme

Memahami Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Oleh: M. Nurkholis Ridwan

Urgensi Topik
Dakwah Salafiyah menjadi perbincangan serius di abad ini dengan makin populernya istilah Wahhabiyah atau Wahhabisme, sebuah gerakan dakwah yang diusung oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terdapat serangkaian upaya untuk melekatkan aliran pemikiran garis keras atau yang membenarkan kekerasan dengan dakwah ini. Dalam berbagai buku yang mengulas tentang isu terorisme, baik buku berskala nasional maupun internasional, istilah Wahhabiyah acap kali disebut. Umumnya bernada tendensius, jauh dari standar ilmiah maupun keinginan untuk mendengarkan kebenaran serta hanya bermodalkan pendapat kaum cendekiawan Barat.

Kalangan yang kontra terhadap dakwah ini bahkan kita temukan pula di Indonesia, meski sama-sama mengaku Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kehadiran para dai yang mengusung dakwah salafiyah belakangan ini, sulit dipungkiri, juga tak lepas dari inspirasi yang ditularkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Biografi Singkat
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid At-Tamimi lahir tahun 1115 H (1703 M) di ‘Uyainah, salah satu distrik di kawasan Riyadh, Arab Saudi kini. Kecerdasannya nampak sejak belia. Ia memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya, seperti tidak suka bermain-main dan perbuatan yang sia-sia.. Di samping itu, lisannya sangat fasih dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama di sekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya.

Ia telah menghafal al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Ia belajar fiqh dan hadits pada ayahnya, Abdul Wahhab. Sejak kecil, ia rajin menelaah buku-buku tafsir, hadits dan tauhid. Sang ayah pun tak segan memuji kecerdasannya, suatu ketika. “Saya belajar dari anakku sejumlah kesimpulan hukum.” (Raudhah Ibnu Ghanam, I/25)

Dengan segala kemampuannya ini, ia pun dianggap layak oleh ayahnya untuk memimpin shalat jamaah. Hal tersebut dimungkinkan karena banyak faktor pendukung. Mulai dari lingkungan hingga ayahnya yang memang seorang ulama.

Setelah berhaji, ia belajar pada para ulama Makkah dan Madinah selama lebih kurang dua bulan. Setelah pulang ke Uyainah, ia terus memacu belajar dari ayah yang sekaligus gurunya dalam pelajaran fiqh Hambali, tafsir, hadits, dan tauhid. Lalu Ibnu Abdul Wahhab menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya sambil menuntut ilmu kepada para ulama Madinah Al-Munawarah. Di antara gurunya adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.

Setelah sempat pulang ke Uyainah, ia kembali belajar fiqh, hadits dan kaidah bahasa Arab pada sejumlah ulama di Bashrah, antara lain Syaikh Muhammad al-Majmu'i. Pertentangan pemikiran dengan para ulama setempat membuat ia terpaksa meninggalkan negeri Bashrah.

Setelah itu, ia belajar di Az-Zubair, lalu Al-Ahsaa'. Di daerah ini ia belajar pada sejumlah ulama, antara lain: Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Kala itu, Ahsaa' memang dikenal sebagai pusat ilmu. Lalu ia pindah ke Haryamala pada tahun 1115H. Bertepatan bahwa ayahnya, yang sebelumnya menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah tugas ke daerah tersebut.
Dua tahun kemudian, ayahnya wafat. Ia lantas menggantikan ayahnya sebagai qadhi. Dalam waktu singkat, ia pun terkenal. Banyak orang yang datang berguru padanya. Ia bahkan dihormati oleh para raja-raja kecil di sekitar Haryamala. Ia pun diminta pulang oleh Amir negeri Uyainah, Utsman bin Ma'mar.

Amir Uyainah sangat gembira dengan kedatangannya. Pesannya kepada Ibnu Abdil Wahhab, "Tegakkanlah dakwah di jalan Allah, kami akan selalu membantu Anda." Mulailah ia berdakwah sehingga ia makin dikenal. Masa itu, ia pun berupaya memerangi syirik dan menegakkan had atau hukuman cambuk, rajam, atau potong tangan bagi pencuri. Berbagai sepak terjang Ibnu Abdil Wahhab ini sampai ke telinga ke telinga Amir Al-Ahsaa', Sulaiman Al-Khalidi. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia mengirim surat kepada Amir Uyainah agar Ibnu Abdul Wahhab dibunuh. Jika tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan akan menyerang negeri Uyainah. Akhirnya, terpaksalah ia meninggalkan negeri Uyainah.

Tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwahnya adalah negeri Dir'iyyah yang makin kuat secara militer. Di sisi lain, hubungan antara pemimpin Dir'iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun bergabung dengan Amir Dir'iyyah.

Keluarnya ia dari negeri Uyainah pada tahun 1157 H menjadi babak baru bagi tonggak perjuangan dakwah Ibnu Abdul Wahhab. Akhirnya, bertemulah ia dengan Amir Dir'iyyah Muhammad bin Sa'ud (w 1179 H) dan terwujudlah kesepakatan untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Kesepakatan inilah yang kelak menjadi pondasi bagi berdirinya Kerajaan Saudi Arabia.
Maka mulailah Ibnu Abdil Wahhab berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para thalabul ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Sejak itu ia menjadi imam shalat, mufti dan juga qadhi. Dan terbentuklah pemerintahan tauhid di negeri Dir’iyyah.

Ia mengirim surat ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau. Mereka pun diperangi oleh tentara amir Muhammad bin Su’ud dengan bimbingan darinya rahimahullah. Hal itu menjadi sebab bagi meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya, seperti ‘Uyainah, Riyadh, lalu Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara hingga ke perbatasan Syam, di bagian selatan hingga ke perbatasan Yaman, di bagian timur berbatasan dengan Laut Merah hingga Teluk Arab.

Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H. dalam usia 91 tahun dan dimakamkan di pekuburan Dar’iyyah. (Disarikan dari Syarh Ushul Ats-Tsalatsah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 5, dan Syarh Kasyfusy Syubhat, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hlm. 3-12)

Karya-karya Ibnu Abdul Wahhab
Ibnu Abdil Wahhab meninggalkan puluhan karya tulis, antara lain: Kitab At-Tauhid, Al-Ushul Ats-Tsalatsah, Kasyfusy Syubhat, Mukhtashar Sirah Rasul saw; Qawa’idul ‘Arba’ah, Ushul al-Iman, Mufid al-Mustafid fi Kufri Tarik at-Tauhid, Tsalatsah Al-Ushul, Mukhtashar as-Sirah, Mukhtashar Fathul Bari, Mukhtashar Zaad Al-Ma’ad, Masaail Al-Jahiliyah, Fadhail ash-Shalah, Kitab Al-Istimbath, Majmu’ah al-Hadits, dan lainnya. (Fathul Majid li Syarhi Kitab at-Tauhid, Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq: Dr. Al-Walid Alu Furayyan, Daar ‘Alam al-Fawaid, Jilid I, hlm. 15)

Kondisi Najd dan Jazirah Arab di Masa Ibnu Abdil Wahhab
Sekitar abad 12 H yang bertepatan dengan 17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat menyimpang dari ajaran Islam, khususnya dalam aspek akidah. Praktik syirik dan bid’ah terjadi dimana-mana. Para ulama sulit mengatasi, karena jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping dukungan dari para pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat demi kelanggengan pengaruh mereka atau kepentingan duniawi. Secara politik, kekuasaan di jazirah Arab terpecah belah, khususnya di Nejd. Perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu. Hal itu sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa makmur dengan jalan memungut upeti dari rakyat jelata. Para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan sumber pendapatan jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan agama dengan benar.
Di masa itu tersebar berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama minim di kalangan mayoritas kaum muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta ke kuburan para wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.

Salah satunya, di Nejd terdapat sebuah kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat Zaid bin Khaththab, salah seorang sahabat Nabi yang juga saudara Umar bin Khaththab, syahid dalam peperangan melawan Musailamah Al-Kadzzab. Masyarakat berbondong-bondong datang ke sana untuk meminta berkah dan menyampaikan berbagai kebutuhan mereka. Di distrik ‘Uyainah, tempat Ibnu Abdil Wahhab dilahirkan terdapat sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk mencari jodoh.
Ironisnya, penyimpangan juga terjadi di Hijaz, termasuk di dalamnya Makkah dan Madinah. Di sini tersebar kebiasaan bersumpah dengan selain Allah, menembok dan membangun kubah-kubah di atas kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah begitu menyebar, apalagi di kota-kota sekitarnya, ditambah lagi dengan kurangnya ulama.

Kondisi ini diwartakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’, “Kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya. Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.”

Manhaj Salafiyah
Istilah ini sangat dikenal di negeri kita, jika dikaitkan dengan pesantren-pesantren Nadhlatul Ulama yang menyebut diri sebagai Pesantren Salafiyah. Salaf artinya yang terdahulu. (Lihat: (Mu’jam al-Wasith, Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, susunan Ibrahim Mushthafa, et.al Daar ad-Da’wah, hlm. 443). Tetapi secara peristilahan, Salafiyah mempunyai makna “mengikuti jalan salaf ash-shalih dari umat ini.” Istilah lain yang sering menjadi padanan istilah ini adalah “Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Dinamakan “Ahlus Sunnah”, karena mereka berpegang teguh pada Sunnah. Dinamakan “al-Jamaah” karena mereka bersatu dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw secara zahir maupun batin. (Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi al-Alamil Islami, hlm. 159-160)

Syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata, “Karena itu dinamakan pengikut Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Ahlul jamaah karena hakikat jamaah adalah bersatu.” (Akidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah cetakan As-Salafiyah, Kairo tahun 1347 hlm. 34)

Sumber akidah salafiyah terhimpun dalam empat sumber: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Untuk Ijma’, umumnya dapat terjadi pada zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. (Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi al-alamil islami, hlm. 167)

Mengapa salafiyah lebih menitikberatkan pada tiga fase pertama generasi Islam? Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pengujung kitabnya Aqidah Wasithiyah. (Ibid) “Karena Nabi telah memberitakan kepada umatnya bahwa mereka akan terpecah dalam 73 golongan, dimana semua masuk neraka kecuali satu, maka ia adalah al-jamaah. Dalam hadits lain dijelaskan bahwa ‘mereka adalah golongan yang mengikutiku dan sahabatku pada hari ini.’ (HR. Hakim, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi VII, hlm. 400)

Maka orang-orang yang berpegang teguh pada Islam yang murni tanpa ada penyimpangan sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.” Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa mereka juga disebut sebagai Thaifah Manshurah, atau kelompok yang mendapatkan pertolongan, dengan berlandaskan pada hadits: “Akan selalu ada segolongan dari umatku yang berada dalam kebenaran dan menang, dimana mereka tidak akan terganggu dengan orang-orang yang menyalahi dan menghinakan mereka hingga kiamat tiba.”

Sebagai penjelasan tambahan tentang manhaj salafi, Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah rasulullah dan apa yang dipegang oleh generasi pertama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam kaum Muslimin dari sejak dahulu.” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/433)

Perintah yang lebih tegas untuk mengikuti generasi Islam pertama dapat kita temukan dalam sabda Rasulullah saw: “Bertakwalah kepada Allah, kalian harus mendengar dan taat meskipun (kalian dipimpin oleh) seorang hamba sahaya dari Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup setelah kalian akan menyaksikan sengketa yang banyak. Maka kalian harus berpegang pada sunnahku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian dan waspadailah perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi. Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi VII, hlm. 442. Imam Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih. Diriwaytkan pula oleh Ad-Darimi, juz I, hlm. 44-45, Imam Ahmad, Juz IV hlm. 126, Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, Juz I, hlm.29-30)

Dalam pengantar tahqiqnya terhadap kitab Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits, karya Ash-Shabuni,Syaikh Badr bin Abdullah al-Badr menjelaskan bahwa manhaj salaf mempunyai lima ciri:
1. Mengikuti kitabullah dan sunnah rasuluullah dalam semua persoalan akidah tanpa penolakan ataupun penakwilan
2. Mengikuti apa yang diyakini oleh para sahabat Rasul saw.
3. Tidak berdebat dengan ahli bid’ah, duduk bersama mereka, mendengarkan perkataan mereka atau menyebarkan syubhat-syubhat mereka.
4. Tidak masuk dalam persoalan-pesoalan akidah yang tak dipahami akal seperti perkara-perkara ghaib
5. Mendorong pada persatuan jamaah kaum Muslimin. (Lihat: Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits, karya Ash-Shabuni, hlm. 8)
Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa akidah yang diajarkan oleh Ibnu Abdil Wahhab adalah akidah salafiyah. Ini dapat disimpulkan dari berbagai ulasan yang terhimpun dalam buku-bukunya. Kita akan membahas beberapa aspek yang dapat mewakili akidah Ibnu Abdul Wahhab.

Ia berkata: “Prinsip-prinsip Iman itu ada enam. Yaitu, engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan taqdir, baik dan buruknya.” (Ad-Durar As-Sunniyah, cetakan II, Juz I, hlm. 88) Penjelasan ini menegaskan sikap Ibnu Abdil Wahhab untuk senantiasa mendasarkan pemahaman akidah sesuai dengan nash yang diturunkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abdil Wahhab juga menulis kitab khusus tentang pokok-pokok keimanan yang memuat banyak bab, dimana setiap bab mengikuti nash-nash dan kebanyakannya diambil dari hadits-hadits Rasulullah saw. (Lihat: Muallafaat asy-Syaikh, bagian I, akidah, hlm. 229)

Ibnu Abdil Wahhab menjelaskan bahwa tauhid terbagi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan shifat. Tauhid rububiyah adalah meyakini bahwa Allah esa dan bersendiri dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Pengakuan ini bersifat mutlak. Tapi semata-mata pengakuan ini tidak membuat seseorang dapat disebut Muslim, karena kebanyakan oang mengakui hal ini. Dalilnya adalah firman Allah: “Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah." Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (QS. Yunus: 31).

Adapun Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Ini garis batas yang membuat seseorang digolongkan sebagai Muslim.

Adapun Tauhid Asma wa ash-Shifat adalah mengakui apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, baik yang sifatnya menafikan atau menetapkan, tanpa menyerupakan (tamtsil), tanpa menghapuskan maknanya (ta’thil), tanpa menyimpangkan dari lafadz dan maknanya dari zahirnya yang layak untuk Allah SWT dan tanpa mempertanyakan bentuknya (takyif). Syaikh Ibnul Abdul Wahhab menggolongkan jenis tauhid ini dalam golongan Tauhid Rububiyah atau jika digabung disebut pula dengan istilah Tauhid al-Ma’rifah wa al-Istbat. (Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi al-Alamil Islami, Dr. Shalih bin Abdullah bin Abdurrahman al-Abud, hlm. 235). Pemahaman tauhid seperti inilah yang juga diyakini oleh para ahli hadits (ashabul hadits, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni (373 H-449). (Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits, maktabah al-Ghuraba’ al-atsariyah, tahqiq badr bin Abdullah al-Badr, hlm. 26-27)

Untuk menegaskan bahwa akidah Ibnu Abdil Wahhab adalah Akidah Salafiyah, kita mengutip perkataannya: “Saya bersaksi di hadapan Allah dan para malaikat yang menyaksikan di sini, dan di hadapan kalian bahwa saya berakidah seperti akidah firqah najiyah (kelompok yang selamat), Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Majmu’ah al-Muallafaat (kumpulan karangan), 5/8)

Di tempat lain ia berkata, “Saya memberi tahu Anda bahwa saya, alhamdulillah, pengikut (Rasul) dan bukan pelaku bid’ah. Akidah dan aga ma saya seperti dimana saya mengikuti agama Allah sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah”. (Ibid, 5/36)

Ibnu Abdul Wahhab menambahkan, “Dan saya bukan—alhamdulillah—mengajak pada madzhab seorang sufi, atau ahli fiqh, atau seorang ahli kalam, ataupun kepada salah seorang imam yang saya muliakan, seperti Ibnul Qayyim, Dzahabi, Ibnu Katsir, dan lainnya. Tapi saya mengajak kepada Allah, tiada sekutu baginya, dan saya mengajak kepada Sunnah Rasul-Nya.” (Ibid, 5/252)

Apakah Penamaan Wahhabi dapat Diterima Secara Ilmiah
Kita sering mendengar istilah Wahhabiyah atau Wahhabi ketika merujuk pada apa yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pertanyaanya, apakah peristilahan ini layak diterima secara ilmiah?

Dalam ilmu Fiqh, kita mengenal empat madzhab atau madrasah, yaitu: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, yang dinisbatkan pada imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Pengikutnya pun disebut dengan istilah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Penisbatan ini diterima dan nyaris hampir tidak ada penolakan karena memang keempat madrasah ini mempunyai pandangan fiqh, dalil argumen (ushul) dan metode yang berbeda. Sekadar contoh, madzhab Maliki menjadikan perbuatan warga Madinah sebagai dalil, dimana hal itu tidak diakui madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi menjadikan Istihsan sebagai salah satu dalil, hal mana itu ditentang oleh madzhab Syafi’i. (Perbincangan tentang hal ini dapat ditemukan dalam berbagai kitab ushul Fiqh, antara lain: Raudhatun Nazhir, karya Ibnu Qudamah yang telah cukup banyak disyarah; Ushul Fiqh, karya Abdul Wahhab Khalaf, dan lainnya)

Apakah Ibnu Abdil Wahhab membawa pemahaman fiqh atau akidah yang baru. Secara fiqh, ia menganut madzhab Ahmad bin Hanbal. Secara akidah, telah kita jelaskan di atas bahwa ia mengikuti Akidah Salafiyah. Pandangan-pandangannya tentang tafsir dan memahami hadits adalah juga mengikuti para imam terdahulu, dimana hal itu tidak keluar dari nash al-Qur’an, hadits, atsar sahabat dan salafus shalih serta ijtihad yang selalu merujuk pada sumber-sumber di atas.

Dalam posisi ini, Ibnu Abdil Wahhab lebih tepat disebut sebagai seorang pembaru Islam (mujaddid) seperti halnya para ulama yang ada di berbagai dunia Islam. Kita mengenal sederetan tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Abul Hasan Ali An-Nadawi dan bahkan M. Natsir dan Hamka di Indonesia. Tapi hal itu tak membuat orang menyebut istilah Natsiriyah atau Afghaniyah untuk pengikut Natsir atau Jamaluddin Al-Afghani.

Pada saat yang sama kita menemukan aroma tendensius dan berbau fitnah ketika menyebut istilah Wahhabiyah untuk memperhadapkannya dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum Muslimin Indonesia yang berakidah Asy’ariyah atau yang juga menggolongkan diri dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebenarnya, akan terasa lebih elok dan mencerahkan jika upaya dialogis di antara para pegiat akademis di lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti universitas dan pesantren, dilakukan secara ilmiah jauh dari label dan mindset yang mengganggu obyektivitas telaah. Kedewasaan ilmiah ini sangat dinanti, mengingat musuh-musuh Islam akan terus berupaya memecah belah kaum Muslimin dengan segala cara. Hal itu ditempuh, salah satunya, dengan mengenalkan klasifikasi-klasifikasi berbau ilmiah sesungguhnya berniat memecah belah dan menimbulkan prasangka yang tak perlu. Karena itu, lebih arif untuk menggunakan istilah Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab daripada istilah Wahhabiyah atau Wahhabisme. Bahkan kita pun menolak istilah Mohammadanism yang diajukan oleh Sir Hamilton R. Gibb ketika menyebut Islam. Karena Rasulullah mengajarkan pada umatnya tentang dinul Islam, dan bukan agama buatan Muhammad. Maka ketika Ibnu Abdul Wahhab menamakan dakwahnya sebagai dakwah salafiyah atau ahlus sunnah wal jamaah, tentulah penamaan itu lebih tepat dan adil.

Yang menarik dari dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah kolaborasinya dengan penguasa Dar’iyyah dan proses menjelmanya kekuatan dakwah menjadi sebuah kekuatan politik. Hal ini, tak ayal, menimbulkan pergesekan-pergesekan dan interpretasi yang sangat beragam, khususnya dari kalangan yang merasa kepentingannya tergerus oleh kehadiran Ibnu Abdul Wahhab. Kepentingan itu bisa beragam, mulai dari politik, ekonomi bahkan perbedaan mazhab sekalipun. Dominasi mazhab Hambali yang menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi sangat wajar jika menimbulkan pergesekan dan salah paham dari kaum Muslimin yang menganut mazhab lain. Sebagai contoh, mazhab Syafi’i dahulu banyak dianut di Makkah, yang juga menjadi salah satu faktor tersebarnya mazhab ini di Indonesia.

Penggunaan kekuatan militer dalam proses amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Su’ud atas bimbingan Ibnu Abdul Wahhab juga kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melekatkan simbol kekerasan atau –dalam istilah populernya kini—terorisme. Pertanyaannya, ada begitu banyak perang yang terjadi sepanjang sejarah untuk menegakkan misi dan ideologi yang dianut. Ibnu Abdil Wahhab tidak sendiri dalam hal ini. Khususnya, ketika secara ijtihad, tindakan itu memenuhi kecukupan syarat dan kondisi. Lantas, apa yang membedakannya dengan tegaknya berbagai daulah Islam di masa dahulu, dimana hal itu juga melewati serangkaian perang dan pelebaran kekuasaan.

Karena itu, akan lebih arif jika kita kembali kepada esensi. Bahwa jamak terjadi, seorang pembaru dan tokoh berangkat dari situasi dan kondisi yang memengaruhinya. Maraknya praktik syirik dan bid’ah yang di masa Ibnu Abdil Wahhab mendorongnya untuk melakukan gerakan pemurnian akidah. Hal mana langkah ini juga diperlukan di Indonesia, dimana praktik syirik dan bid’ah juga tersebar luas. Sekadar contoh, praktik sesajen ke sungai di Jawa Barat atau memuliakan seekor sapi yang terjadi di Yogyakarta adalah praktik syirik yang harus diluruskan. Tentu dalam konteks Indonesia, dakwah dengan nasihat yang baik serta penjelasan yang kontinyu dan tidak kenal lelah merupakan cara yang paling tepat. Wallahu a’lam. ***

Tragedi Kiyai Liberal, Akhir Hayatnya Memilukan

Sebuah Cerpen


By. Yusuf Shandy

“Apa!? kamu hamil?!” Pak tua itu terbelalak mendengar pengakuan putri
bungsu yang dicintainya. Dia langsung berdiri dan memburu ke arah sang
putri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap mendaratkan tamparannya,
tapi...

“Jangan Paa... sabaar..!” istrinya menjerit sambil berusaha menghalangi
dengan memeluk erat tubuh gadis kesayangannya. Sang bapak pun mengurungkan
niatnya, tapi nampak jelas kemarahan dan kekecewaan luar biasa menguasai
dirinya. Tubuhnya bergetar, matanya merah melotot, menatap tajam ke arah
putrinya.

“Siapa!? Siapa yang berbuat kurang ajar begini, hah??” bentaknya tiba-tiba.

Sang putri hanya terdiam, terisak dan menyembunyikan wajahnya dalam pelukan
sang ibu.

“Ya Allahhh… kenapa ini terjadi pada keluargakuu..?? Aku yang ditokohkan
orang sebagai cendekiawan muslim terkemuka di negeri ini, hanya membesarkan
seorang pelacur!!!” Orang tua itu mengeluh dan mengomel seolah ingin
memuntahkan seluruh kekesalan dan kekecewaan dari ubun-ubunnya. Sementara,
sambil terus memeluk anaknya, sang istri berusaha menenangkan suasana.

“Istigfar Paa, siapa sih yang pelacur? Anak kita kan hanya korban…” belum
selesai si istri berbicara, “Korban apa? Wong dia sengaja melakukannya!!!”
Pak tua yang masih kesal itu kini bertambah marah mendengar istrinya
berusaha membela sang anak.

Suasana langsung hening, sang istri hanya menunduk, tidak mampu berkata
apa-apa. Sejenak kemudian lelaki tua itu menarik kursi ke arah istri dan
anaknya yang masih saling berpelukan, dan menghempaskan tubuhnya yang mulai
renta itu.

“Ufhhh…, kenapa kau lakukan ini, Nak?” nada bicaranya nampak mulai menurun.
Lalu dia menunduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan keriputnya,
seakan tindakan itu bisa menutupi rasa malu yang akan dipikulnya ketika
tersiar kabar di media massa infotaintment, “Putri Cendikiawan Muslim
Terkemuka, Hamil di Luar Nikah dengan Pemuda Kristen.”

“Pokoknya, kamu harus dicambuk seratus kali!” tiba-tiba dia berucap tegas.
Istrinya yang sedari tadi diam, serta-merta menoleh ke arahnya sambil
mengernyitkan dahi.

“Apa, Pa? Dicambuk? Bukannya papa pernah bilang cambuk itu hukuman primitif
yang tidak pantas untuk diberlakukan lagi? Papa juga sering menulis di buku
dan berbagai media bahwa hudud itu sudah tidak relevan dan ketinggalan
zaman?!” sang istri memberanikan diri untuk angkat bicara.

Mendengar itu, sang cendekiawan pun semakin terhenyak ke kursinya, dia pun
terdiam tak tahu harus bagaimana.

*****

Semenjak kejadian itu, kini lelaki tua tujuh puluh tahunan itu terkulai
lemah di atas pembaringan sebuah ruangan gawat darurat sebuah rumah sakit
ibu kota. Dia mengalami depresi yang cukup berat. Dalam dirinya terjadi
pertentangan batin yang hebat. Dia sadar bahwa selama ini dia terdepan
meneriakkan keabsahan nikah beda agama, meneriakkan slogan anti penerapan
syariat Islam, menentang jilbab dan menyatakan jilbab bukan ajaran Islam
tapi tradisi Arab. “Itu budaya orang Arab, bukan budaya Islam!” tegasnya
setiap saat ketika memberikan mata kuliah di depan mahasiswanya.

Tapi, kini nuraninya berontak ketika menyaksikan kedua putri-putrinya
menyingkap aurat, berpakaian minim dan sudah tidak seakidah lagi dengannya.
Dia ingin menyuruh mereka istiqamah dalam syariat Islam, hidup dalam rumah
tangga islami, dan menutup aurat seperti yang diperintahkan Al Quran, tapi
apa daya nasi sudah menjadi bubur. Kedua putrinya justru jadi orang yang
gigih mengamalkan ideologi sekuler liberalnya.

Dengan busana gaul ala artis MTV, kini putrinya terjerumus kepada perbuatan
zina dengan pemuda non muslim. Nuraninya menuntut untuk menjatuhkan hukuman
sesuai dengan syariat Islam. Karena dia sangat mengerti bahwa hukuman di
dunia akan membebaskan sang putri dari hukuman yang lebih dahsyat di akhirat
nanti.

“Nak, walau bagaimana, kamu adalah seorang muslimah, jika terlanjur
melakukan zina, kamu harus bertobat dan dihukum dengan hukuman yang telah
ditetapkan oleh Islam.” Entah untuk ke berapa kalinya dia mengatakan itu
pada sang putri. Karena tuntutan nuraninya, dia selalu mencoba meyakinkan
putrinya agar mau menjalani hukuman cambuk dan pengasingan.

Hingga suatu ketika, saat saat sang putri membesuknya, dia mencoba membujuk
putrinya. Tak disangka-sangka sang putri langsung berkata, “Ya sudah, kalau
memang dalam Islam seperti itu, aku mau masuk Kristen aja!”

“Apaaa?!” bak disambar petir, pak tua itu langsung terlonjak berdiri.
Matanya melotot seolah mau copot. “Kamu sudah gila, ya? Kalo kamu masuk
Kristen, kamu berarti Murtad!! Kamu kafir dan...” Ia tak sanggup lagi
meneruskan kata-katanya, karena amarahnya sudah membumbung tinggi. Dengan
suara menggelegar dia hardik sang putri yang langsung terdiam, menggigil
ketakutan.

“Apa nggak salah denger nih, Pa?” tiba-tiba putri sulungnya yang kebetulan
sedang berkunjung, angkat bicara membela adiknya. “Papa ngomong apa sih,
murtad.. kafir… Hak Diana dong Pa, untuk masuk Kristen, karena dia sudah
merasa tidak cocok dengan Islam. Agama kan, wilayah privat yang tidak bisa
dicampuri orang lain. Pindah agama ke Kristen adalah wilayah privat Diana.
Papa tidak bisa, dong... ikut campur!”

“Jangan asal ngomong kamu, Len!!” pak tua itu langsung membentaknya.

“Dengar Lena, sebenarnya papa tidak pernah merestui kamu menikah dengan
orang Kafir itu. Haram hukumnya muslimah menikah dengan orang kafir!!”

“Sekarang papa berani bilang begitu, lalu kenapa papa selama ini sibuk
menulis di buku dan berbagai media bahwa semua agama itu sama kebenarannya?
Untuk apa papa berkoar-koar semua pemeluk agama akan masuk surga? Itu semua
bohong? Iya, Pa? Papa selama ini hanya menipu orang banyak dengan semua
tulisan dan ucapan Papa itu?” Lena memberondong sang ayah yang sudah tua dan
sedang sakit itu dengan berbagai pertanyaan yang sangat menyudutkan.

“Diaamm..!!!” dia semakin kalap mendengar ocehan sang putri sulung.

“Kenapa Lena harus diam? Lena kan hanya mengulang ucapan-ucapan yang Papa
ajarkan!” Si sulung tidak mau kalah, balas membentak. “Asal Papa tahu,
sekarang aku sudah ikut agama Mas Yudha, aku sudah masuk agama Budha!”

“Apaa?! ... beraninya kamu murtad Lena.. kamu sudah kafir, akan masuk
neraka… darahmu sekarang halal ditumpahkan… akan aku bun... aaaakhhh!”

“Pa..pa..istigfar pa…, istigfaaar!!!” Sang istri berusaha menenangkan
suaminya yang berteriak-teriak mengigau. Lelaki itu terus meronta-ronta
sambil berteriak tak karuan. “Susteer… tolong susteer..” Sang istri pun
menjerit histeris. Tak lama kemudian berdatanganlah beberapa perawat
laki-laki, memegangi tangan dan kakinya sampai dia tenang kembali.

“Ahh.. hhh..hhh” lelaki itu nampak terengah, nafasnya memburu..

“Tenang Pak, istigfar..” salah seorang perawat terus berusaha
menenangkannya.

Lelaki tua itu pun berangsur tenang, perlahan dia membuka kedua bola
matanya, memandang sekelilingnya. Nampak olehnya sang istri yang masih
menyisakan cemas di wajahnya. Kedua biji matanya menyapu sekeliling ruangan
itu, namun tak didapatinya kedua orang putrinya.

“Ma.. apa.. d..Di..ana jj..jadi masuk kk..Kristen?” mulutnya bergetar,
dengan suara yang amat lemah dia berusaha bertanya ke istrinya. Setelah
terdiam beberapa saat, bingung harus menjawab apa, sang istri pun
memberanikan diri untuk mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

..Kepalanya terkulai lemas, tatapannya kosong, perlahan dia pun kembali
memejamkan mata… tiba-tiba.. dia teringat sebuah hadits Nabi yang dulu
sangat dihafalnya sejak kecil...

“Fhhhhh…” lelaki itu menghembuskan nafas kuat-kuat, seolah ingin melepaskan
semua beban di dadanya. Kepalanya terkulai lemas, tatapannya kosong,
perlahan dia pun kembali memejamkan mata… tiba-tiba.. dia teringat sebuah
hadits Nabi yang dulu sangat dihafalnya sejak kecil... “Apabila anak Adam
meninggal dunia, terputus seluruh amalannya kecuali tiga perkara… Ilmu yang
bermanfaat, shadaqah jariah, dan anak shaleh yang akan mendoakan..” Dia
langsung membelalakkan matanya, “Anak yang shalehhh…” mulutnya berdesis.
“Aku tidak punya anak yang shaleeeh… kedua putri ku telah murtaaad!!..
aahhh, siapa nanti yang akan mendoakanku?? Hik..hik..hik..” dia pun terisak,
tubuhnya berguncang hebat menahan isakan tangis penyesalannya.

***

Sang cendekiawan tertunduk menatap tajam ke arah gundukan tanah yang masih
merah tempat istrinya dibaringkan untuk selama-lamanya. Tanpa disangka,
istrinya yang segar-bugar, mendahuluinya menemui sang Khaliq. Sementara sang
cendekiawan tua yang belum bisa mengatasi depresi berat itu masih bertahan
hidup, meski sakit-sakitan. Kini, tinggallah Kyai Liberal ini dengan dua
orang putrinya.

Tiba-tiba dia tersentak, teringat kedua putrinya kini beda agama dengannya,
berarti hanya dia sendiri yang muslim.

Ketika hendak beranjak berdiri. Tanpa sengaja bola matanya terpaku pada
sebuah nisan berlambang salib, tak jauh dari makam istrinya. “Ya Allah, bila
aku mati nanti, akankah namaku terpampang di batu nisan seperti di makam
salib itu?” [azz@hra/voa-islam.com]

http://www.voa-islam.com/news/hikmah/2009/12/27/2231/tragedi-kiyai-liberalakhir-hayatnya-memilukan/

Pragmatisme

By. M. Nurkholis Ridwan

Sisi paling tua dalam politik sebenarnya bukan kekuasaan, tapi pragmatisme. Adagium tua berbunyi: tak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, setidaknya mengisyaratkan hal itu. Secara bahasa, pragmatisme tidak melulu negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pragmatisme sebagai “kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb), bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia”. Pengertian kedua, masih seperti disebutkan di kamus, “paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus”.

Ringkasnya, pragmatisme berbicara tentang sejauh mana praktis tidaknya suatu keputusan atau kebijakan bagi kepentingan manusia. Selain itu, terdapat keyakinan tentang perubahan yang terus menerus.

Pragmatisme itu menemukan momentum dalam dinamika politik mutakhir di negeri kita. Partai Demokrat yang berkuasa dan mempunyai platform nasionalis-relijius secara terang-terangan merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bermazhab nasionalis-sekular. Tak hanya itu, kedua petinggi partai sejak lama tidak akur. Megawati tak pernah mau hadir dan selalu enggan bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina PD. Toh, di detik-detik terakhir pengajuan pasangan capres-cawapres, katup komunikasi politik pun terbuka. Keduanya diikat oleh satu kepentingan: kemaslahatan untuk berkuasa. Kepentingan inilah yang membawa kedua pihak berubah dan bersikap praktis.

Mencuatnya nama Boediono, sebagai cawapres, juga adalah sisi lain pragmatisme yang ingin dimainkan oleh SBY. Pertama, Boediono adalah teknokrat nonpartai yang disinyalir takkan menjadi batu sandungan bagi koalisi di kemudian hari. Dengan kata lain, gubernur Bank Indonesia ini hanya akan dijadikan sebagai pemanis dan pembantu presiden. Sesuatu yang tidak disetujui Wapres Jusuf Kalla. Kedua, Boediono dikenal dekat dengan Megawati. Diharapkan, langkah ini bisa mendinginkan hubungan dengan PDIP di parlemen, partai pemenang ketiga dalam pemilu. Jadi, sambil menyelam minum susu.

Pemilu memang selalu menyisakan cerita tentang pragmatisme. Partai-partai Islam, seperti PAN, PKS, PPP dan PBB tentu lebih mudah merapat ke SBY, sang incumbent, yang diperkirakan kuat akan menang. Barangkali yang jadi pertimbangan, untuk apa mendekat ke partai yang belum tentu menang. Tak ada yang bisa dibagi. Toh, kekuasaan membentangkan jalan untuk menciptakan kemaslahatan. Tinggal kemaslahatan untuk siapa, partai atau rakyat?

Maka dalam frame ini pula, Wiranto harus legawa di kursi cawapres JK, koleganya di Golkar dulu. Padahal, pada pemilu 2004 lalu, ia tampil sebagai capres dari partai Golkar. Yang menarik, JK enggan memilih jalur pragmatis, ketika tak kunjung dilamar kembali oleh SBY. Ketika PD meminta sekian banyak calon dari Golkar, meski partai yang lama berkuasa di era Orde Baru ini hanya mengajukan satu calon, JK tegas mengambil sikap: Deklarasi capres!

Sebuah sikap yang tidak populer memang, bahkan “tabu” dalam politik. Tapi terdapat pelajaran berharga bagi khalayak lewat langkah JK ini. Tentang ketegasan bertindak, tepat pada saat dibutuhkan. Publik perlu langkah-langkah yang pasti, tegas dan cepat untuk meraih masa depan yang lebih baik. Soal apakah JK-Win dapat menang menghadapi sangat incumbent, memang masih banyak yang menyangsikan, meski pasangan ini meroket dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), mengalahkan Mega dan Prabowo. Toh, tak ada yang pasti dalam politik. Masih cukup waktu untuk terjadinya berbagai macam perubahan.

Dan masyarakat pun punya cerita pragmatisme yang berbeda-beda. Daripada rumit-rumit, lebih baik pilih yang sudah ada. Dalam konteks ini, slogan “Lanjutkan!” yang sering diusung SBY sangat laku. Lalu, jika menyimak program BLT hasil rancangan JK yang dilakukan secara cepat, maka slogan “Lebih cepat, lebih baik!” pun laris. Dan pemilu memang selalu menampilkan perang slogan. Slogan “Change we can believe in!” mengantarkan Barack Hussein Obama ke Gedung Putih pada Pilpres AS akhir tahun lalu. SBY-JK melenggang ke istana pada Pilpres 2004 lalu dengan semangat “Bersama kita bisa”.

Yang pasti, tak ada capres atau partai yang mau mengusung slogan “Dengan pragmatis, kita bisa!” Tapi, siapa tahu?

Jakarta, 12 Mei 2009