03 Januari, 2010

Pragmatisme

By. M. Nurkholis Ridwan

Sisi paling tua dalam politik sebenarnya bukan kekuasaan, tapi pragmatisme. Adagium tua berbunyi: tak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, setidaknya mengisyaratkan hal itu. Secara bahasa, pragmatisme tidak melulu negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pragmatisme sebagai “kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb), bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia”. Pengertian kedua, masih seperti disebutkan di kamus, “paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus”.

Ringkasnya, pragmatisme berbicara tentang sejauh mana praktis tidaknya suatu keputusan atau kebijakan bagi kepentingan manusia. Selain itu, terdapat keyakinan tentang perubahan yang terus menerus.

Pragmatisme itu menemukan momentum dalam dinamika politik mutakhir di negeri kita. Partai Demokrat yang berkuasa dan mempunyai platform nasionalis-relijius secara terang-terangan merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bermazhab nasionalis-sekular. Tak hanya itu, kedua petinggi partai sejak lama tidak akur. Megawati tak pernah mau hadir dan selalu enggan bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina PD. Toh, di detik-detik terakhir pengajuan pasangan capres-cawapres, katup komunikasi politik pun terbuka. Keduanya diikat oleh satu kepentingan: kemaslahatan untuk berkuasa. Kepentingan inilah yang membawa kedua pihak berubah dan bersikap praktis.

Mencuatnya nama Boediono, sebagai cawapres, juga adalah sisi lain pragmatisme yang ingin dimainkan oleh SBY. Pertama, Boediono adalah teknokrat nonpartai yang disinyalir takkan menjadi batu sandungan bagi koalisi di kemudian hari. Dengan kata lain, gubernur Bank Indonesia ini hanya akan dijadikan sebagai pemanis dan pembantu presiden. Sesuatu yang tidak disetujui Wapres Jusuf Kalla. Kedua, Boediono dikenal dekat dengan Megawati. Diharapkan, langkah ini bisa mendinginkan hubungan dengan PDIP di parlemen, partai pemenang ketiga dalam pemilu. Jadi, sambil menyelam minum susu.

Pemilu memang selalu menyisakan cerita tentang pragmatisme. Partai-partai Islam, seperti PAN, PKS, PPP dan PBB tentu lebih mudah merapat ke SBY, sang incumbent, yang diperkirakan kuat akan menang. Barangkali yang jadi pertimbangan, untuk apa mendekat ke partai yang belum tentu menang. Tak ada yang bisa dibagi. Toh, kekuasaan membentangkan jalan untuk menciptakan kemaslahatan. Tinggal kemaslahatan untuk siapa, partai atau rakyat?

Maka dalam frame ini pula, Wiranto harus legawa di kursi cawapres JK, koleganya di Golkar dulu. Padahal, pada pemilu 2004 lalu, ia tampil sebagai capres dari partai Golkar. Yang menarik, JK enggan memilih jalur pragmatis, ketika tak kunjung dilamar kembali oleh SBY. Ketika PD meminta sekian banyak calon dari Golkar, meski partai yang lama berkuasa di era Orde Baru ini hanya mengajukan satu calon, JK tegas mengambil sikap: Deklarasi capres!

Sebuah sikap yang tidak populer memang, bahkan “tabu” dalam politik. Tapi terdapat pelajaran berharga bagi khalayak lewat langkah JK ini. Tentang ketegasan bertindak, tepat pada saat dibutuhkan. Publik perlu langkah-langkah yang pasti, tegas dan cepat untuk meraih masa depan yang lebih baik. Soal apakah JK-Win dapat menang menghadapi sangat incumbent, memang masih banyak yang menyangsikan, meski pasangan ini meroket dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), mengalahkan Mega dan Prabowo. Toh, tak ada yang pasti dalam politik. Masih cukup waktu untuk terjadinya berbagai macam perubahan.

Dan masyarakat pun punya cerita pragmatisme yang berbeda-beda. Daripada rumit-rumit, lebih baik pilih yang sudah ada. Dalam konteks ini, slogan “Lanjutkan!” yang sering diusung SBY sangat laku. Lalu, jika menyimak program BLT hasil rancangan JK yang dilakukan secara cepat, maka slogan “Lebih cepat, lebih baik!” pun laris. Dan pemilu memang selalu menampilkan perang slogan. Slogan “Change we can believe in!” mengantarkan Barack Hussein Obama ke Gedung Putih pada Pilpres AS akhir tahun lalu. SBY-JK melenggang ke istana pada Pilpres 2004 lalu dengan semangat “Bersama kita bisa”.

Yang pasti, tak ada capres atau partai yang mau mengusung slogan “Dengan pragmatis, kita bisa!” Tapi, siapa tahu?

Jakarta, 12 Mei 2009