03 Januari, 2010

Memahami Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Oleh: M. Nurkholis Ridwan

Urgensi Topik
Dakwah Salafiyah menjadi perbincangan serius di abad ini dengan makin populernya istilah Wahhabiyah atau Wahhabisme, sebuah gerakan dakwah yang diusung oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terdapat serangkaian upaya untuk melekatkan aliran pemikiran garis keras atau yang membenarkan kekerasan dengan dakwah ini. Dalam berbagai buku yang mengulas tentang isu terorisme, baik buku berskala nasional maupun internasional, istilah Wahhabiyah acap kali disebut. Umumnya bernada tendensius, jauh dari standar ilmiah maupun keinginan untuk mendengarkan kebenaran serta hanya bermodalkan pendapat kaum cendekiawan Barat.

Kalangan yang kontra terhadap dakwah ini bahkan kita temukan pula di Indonesia, meski sama-sama mengaku Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kehadiran para dai yang mengusung dakwah salafiyah belakangan ini, sulit dipungkiri, juga tak lepas dari inspirasi yang ditularkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Biografi Singkat
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid At-Tamimi lahir tahun 1115 H (1703 M) di ‘Uyainah, salah satu distrik di kawasan Riyadh, Arab Saudi kini. Kecerdasannya nampak sejak belia. Ia memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya, seperti tidak suka bermain-main dan perbuatan yang sia-sia.. Di samping itu, lisannya sangat fasih dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama di sekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya.

Ia telah menghafal al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Ia belajar fiqh dan hadits pada ayahnya, Abdul Wahhab. Sejak kecil, ia rajin menelaah buku-buku tafsir, hadits dan tauhid. Sang ayah pun tak segan memuji kecerdasannya, suatu ketika. “Saya belajar dari anakku sejumlah kesimpulan hukum.” (Raudhah Ibnu Ghanam, I/25)

Dengan segala kemampuannya ini, ia pun dianggap layak oleh ayahnya untuk memimpin shalat jamaah. Hal tersebut dimungkinkan karena banyak faktor pendukung. Mulai dari lingkungan hingga ayahnya yang memang seorang ulama.

Setelah berhaji, ia belajar pada para ulama Makkah dan Madinah selama lebih kurang dua bulan. Setelah pulang ke Uyainah, ia terus memacu belajar dari ayah yang sekaligus gurunya dalam pelajaran fiqh Hambali, tafsir, hadits, dan tauhid. Lalu Ibnu Abdul Wahhab menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya sambil menuntut ilmu kepada para ulama Madinah Al-Munawarah. Di antara gurunya adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.

Setelah sempat pulang ke Uyainah, ia kembali belajar fiqh, hadits dan kaidah bahasa Arab pada sejumlah ulama di Bashrah, antara lain Syaikh Muhammad al-Majmu'i. Pertentangan pemikiran dengan para ulama setempat membuat ia terpaksa meninggalkan negeri Bashrah.

Setelah itu, ia belajar di Az-Zubair, lalu Al-Ahsaa'. Di daerah ini ia belajar pada sejumlah ulama, antara lain: Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Kala itu, Ahsaa' memang dikenal sebagai pusat ilmu. Lalu ia pindah ke Haryamala pada tahun 1115H. Bertepatan bahwa ayahnya, yang sebelumnya menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah tugas ke daerah tersebut.
Dua tahun kemudian, ayahnya wafat. Ia lantas menggantikan ayahnya sebagai qadhi. Dalam waktu singkat, ia pun terkenal. Banyak orang yang datang berguru padanya. Ia bahkan dihormati oleh para raja-raja kecil di sekitar Haryamala. Ia pun diminta pulang oleh Amir negeri Uyainah, Utsman bin Ma'mar.

Amir Uyainah sangat gembira dengan kedatangannya. Pesannya kepada Ibnu Abdil Wahhab, "Tegakkanlah dakwah di jalan Allah, kami akan selalu membantu Anda." Mulailah ia berdakwah sehingga ia makin dikenal. Masa itu, ia pun berupaya memerangi syirik dan menegakkan had atau hukuman cambuk, rajam, atau potong tangan bagi pencuri. Berbagai sepak terjang Ibnu Abdil Wahhab ini sampai ke telinga ke telinga Amir Al-Ahsaa', Sulaiman Al-Khalidi. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia mengirim surat kepada Amir Uyainah agar Ibnu Abdul Wahhab dibunuh. Jika tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan akan menyerang negeri Uyainah. Akhirnya, terpaksalah ia meninggalkan negeri Uyainah.

Tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwahnya adalah negeri Dir'iyyah yang makin kuat secara militer. Di sisi lain, hubungan antara pemimpin Dir'iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pun bergabung dengan Amir Dir'iyyah.

Keluarnya ia dari negeri Uyainah pada tahun 1157 H menjadi babak baru bagi tonggak perjuangan dakwah Ibnu Abdul Wahhab. Akhirnya, bertemulah ia dengan Amir Dir'iyyah Muhammad bin Sa'ud (w 1179 H) dan terwujudlah kesepakatan untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Kesepakatan inilah yang kelak menjadi pondasi bagi berdirinya Kerajaan Saudi Arabia.
Maka mulailah Ibnu Abdil Wahhab berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para thalabul ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Sejak itu ia menjadi imam shalat, mufti dan juga qadhi. Dan terbentuklah pemerintahan tauhid di negeri Dir’iyyah.

Ia mengirim surat ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau. Mereka pun diperangi oleh tentara amir Muhammad bin Su’ud dengan bimbingan darinya rahimahullah. Hal itu menjadi sebab bagi meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya, seperti ‘Uyainah, Riyadh, lalu Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara hingga ke perbatasan Syam, di bagian selatan hingga ke perbatasan Yaman, di bagian timur berbatasan dengan Laut Merah hingga Teluk Arab.

Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H. dalam usia 91 tahun dan dimakamkan di pekuburan Dar’iyyah. (Disarikan dari Syarh Ushul Ats-Tsalatsah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 5, dan Syarh Kasyfusy Syubhat, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hlm. 3-12)

Karya-karya Ibnu Abdul Wahhab
Ibnu Abdil Wahhab meninggalkan puluhan karya tulis, antara lain: Kitab At-Tauhid, Al-Ushul Ats-Tsalatsah, Kasyfusy Syubhat, Mukhtashar Sirah Rasul saw; Qawa’idul ‘Arba’ah, Ushul al-Iman, Mufid al-Mustafid fi Kufri Tarik at-Tauhid, Tsalatsah Al-Ushul, Mukhtashar as-Sirah, Mukhtashar Fathul Bari, Mukhtashar Zaad Al-Ma’ad, Masaail Al-Jahiliyah, Fadhail ash-Shalah, Kitab Al-Istimbath, Majmu’ah al-Hadits, dan lainnya. (Fathul Majid li Syarhi Kitab at-Tauhid, Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab, tahqiq: Dr. Al-Walid Alu Furayyan, Daar ‘Alam al-Fawaid, Jilid I, hlm. 15)

Kondisi Najd dan Jazirah Arab di Masa Ibnu Abdil Wahhab
Sekitar abad 12 H yang bertepatan dengan 17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat menyimpang dari ajaran Islam, khususnya dalam aspek akidah. Praktik syirik dan bid’ah terjadi dimana-mana. Para ulama sulit mengatasi, karena jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping dukungan dari para pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat demi kelanggengan pengaruh mereka atau kepentingan duniawi. Secara politik, kekuasaan di jazirah Arab terpecah belah, khususnya di Nejd. Perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu. Hal itu sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa makmur dengan jalan memungut upeti dari rakyat jelata. Para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan sumber pendapatan jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan agama dengan benar.
Di masa itu tersebar berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama minim di kalangan mayoritas kaum muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta ke kuburan para wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.

Salah satunya, di Nejd terdapat sebuah kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat Zaid bin Khaththab, salah seorang sahabat Nabi yang juga saudara Umar bin Khaththab, syahid dalam peperangan melawan Musailamah Al-Kadzzab. Masyarakat berbondong-bondong datang ke sana untuk meminta berkah dan menyampaikan berbagai kebutuhan mereka. Di distrik ‘Uyainah, tempat Ibnu Abdil Wahhab dilahirkan terdapat sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk mencari jodoh.
Ironisnya, penyimpangan juga terjadi di Hijaz, termasuk di dalamnya Makkah dan Madinah. Di sini tersebar kebiasaan bersumpah dengan selain Allah, menembok dan membangun kubah-kubah di atas kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah begitu menyebar, apalagi di kota-kota sekitarnya, ditambah lagi dengan kurangnya ulama.

Kondisi ini diwartakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’, “Kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya. Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.”

Manhaj Salafiyah
Istilah ini sangat dikenal di negeri kita, jika dikaitkan dengan pesantren-pesantren Nadhlatul Ulama yang menyebut diri sebagai Pesantren Salafiyah. Salaf artinya yang terdahulu. (Lihat: (Mu’jam al-Wasith, Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, susunan Ibrahim Mushthafa, et.al Daar ad-Da’wah, hlm. 443). Tetapi secara peristilahan, Salafiyah mempunyai makna “mengikuti jalan salaf ash-shalih dari umat ini.” Istilah lain yang sering menjadi padanan istilah ini adalah “Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Dinamakan “Ahlus Sunnah”, karena mereka berpegang teguh pada Sunnah. Dinamakan “al-Jamaah” karena mereka bersatu dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw secara zahir maupun batin. (Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi al-Alamil Islami, hlm. 159-160)

Syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata, “Karena itu dinamakan pengikut Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Ahlul jamaah karena hakikat jamaah adalah bersatu.” (Akidah Wasithiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah cetakan As-Salafiyah, Kairo tahun 1347 hlm. 34)

Sumber akidah salafiyah terhimpun dalam empat sumber: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Untuk Ijma’, umumnya dapat terjadi pada zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. (Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi al-alamil islami, hlm. 167)

Mengapa salafiyah lebih menitikberatkan pada tiga fase pertama generasi Islam? Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pengujung kitabnya Aqidah Wasithiyah. (Ibid) “Karena Nabi telah memberitakan kepada umatnya bahwa mereka akan terpecah dalam 73 golongan, dimana semua masuk neraka kecuali satu, maka ia adalah al-jamaah. Dalam hadits lain dijelaskan bahwa ‘mereka adalah golongan yang mengikutiku dan sahabatku pada hari ini.’ (HR. Hakim, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi VII, hlm. 400)

Maka orang-orang yang berpegang teguh pada Islam yang murni tanpa ada penyimpangan sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.” Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa mereka juga disebut sebagai Thaifah Manshurah, atau kelompok yang mendapatkan pertolongan, dengan berlandaskan pada hadits: “Akan selalu ada segolongan dari umatku yang berada dalam kebenaran dan menang, dimana mereka tidak akan terganggu dengan orang-orang yang menyalahi dan menghinakan mereka hingga kiamat tiba.”

Sebagai penjelasan tambahan tentang manhaj salafi, Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah rasulullah dan apa yang dipegang oleh generasi pertama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam kaum Muslimin dari sejak dahulu.” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/433)

Perintah yang lebih tegas untuk mengikuti generasi Islam pertama dapat kita temukan dalam sabda Rasulullah saw: “Bertakwalah kepada Allah, kalian harus mendengar dan taat meskipun (kalian dipimpin oleh) seorang hamba sahaya dari Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup setelah kalian akan menyaksikan sengketa yang banyak. Maka kalian harus berpegang pada sunnahku, dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian dan waspadailah perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi. Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi VII, hlm. 442. Imam Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih. Diriwaytkan pula oleh Ad-Darimi, juz I, hlm. 44-45, Imam Ahmad, Juz IV hlm. 126, Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, Juz I, hlm.29-30)

Dalam pengantar tahqiqnya terhadap kitab Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits, karya Ash-Shabuni,Syaikh Badr bin Abdullah al-Badr menjelaskan bahwa manhaj salaf mempunyai lima ciri:
1. Mengikuti kitabullah dan sunnah rasuluullah dalam semua persoalan akidah tanpa penolakan ataupun penakwilan
2. Mengikuti apa yang diyakini oleh para sahabat Rasul saw.
3. Tidak berdebat dengan ahli bid’ah, duduk bersama mereka, mendengarkan perkataan mereka atau menyebarkan syubhat-syubhat mereka.
4. Tidak masuk dalam persoalan-pesoalan akidah yang tak dipahami akal seperti perkara-perkara ghaib
5. Mendorong pada persatuan jamaah kaum Muslimin. (Lihat: Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits, karya Ash-Shabuni, hlm. 8)
Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa akidah yang diajarkan oleh Ibnu Abdil Wahhab adalah akidah salafiyah. Ini dapat disimpulkan dari berbagai ulasan yang terhimpun dalam buku-bukunya. Kita akan membahas beberapa aspek yang dapat mewakili akidah Ibnu Abdul Wahhab.

Ia berkata: “Prinsip-prinsip Iman itu ada enam. Yaitu, engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan taqdir, baik dan buruknya.” (Ad-Durar As-Sunniyah, cetakan II, Juz I, hlm. 88) Penjelasan ini menegaskan sikap Ibnu Abdil Wahhab untuk senantiasa mendasarkan pemahaman akidah sesuai dengan nash yang diturunkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abdil Wahhab juga menulis kitab khusus tentang pokok-pokok keimanan yang memuat banyak bab, dimana setiap bab mengikuti nash-nash dan kebanyakannya diambil dari hadits-hadits Rasulullah saw. (Lihat: Muallafaat asy-Syaikh, bagian I, akidah, hlm. 229)

Ibnu Abdil Wahhab menjelaskan bahwa tauhid terbagi tiga: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan shifat. Tauhid rububiyah adalah meyakini bahwa Allah esa dan bersendiri dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Pengakuan ini bersifat mutlak. Tapi semata-mata pengakuan ini tidak membuat seseorang dapat disebut Muslim, karena kebanyakan oang mengakui hal ini. Dalilnya adalah firman Allah: “Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah." Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (QS. Yunus: 31).

Adapun Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Ini garis batas yang membuat seseorang digolongkan sebagai Muslim.

Adapun Tauhid Asma wa ash-Shifat adalah mengakui apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, baik yang sifatnya menafikan atau menetapkan, tanpa menyerupakan (tamtsil), tanpa menghapuskan maknanya (ta’thil), tanpa menyimpangkan dari lafadz dan maknanya dari zahirnya yang layak untuk Allah SWT dan tanpa mempertanyakan bentuknya (takyif). Syaikh Ibnul Abdul Wahhab menggolongkan jenis tauhid ini dalam golongan Tauhid Rububiyah atau jika digabung disebut pula dengan istilah Tauhid al-Ma’rifah wa al-Istbat. (Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi al-Alamil Islami, Dr. Shalih bin Abdullah bin Abdurrahman al-Abud, hlm. 235). Pemahaman tauhid seperti inilah yang juga diyakini oleh para ahli hadits (ashabul hadits, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni (373 H-449). (Aqidah as-Salaf Ashabul Hadits, maktabah al-Ghuraba’ al-atsariyah, tahqiq badr bin Abdullah al-Badr, hlm. 26-27)

Untuk menegaskan bahwa akidah Ibnu Abdil Wahhab adalah Akidah Salafiyah, kita mengutip perkataannya: “Saya bersaksi di hadapan Allah dan para malaikat yang menyaksikan di sini, dan di hadapan kalian bahwa saya berakidah seperti akidah firqah najiyah (kelompok yang selamat), Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Majmu’ah al-Muallafaat (kumpulan karangan), 5/8)

Di tempat lain ia berkata, “Saya memberi tahu Anda bahwa saya, alhamdulillah, pengikut (Rasul) dan bukan pelaku bid’ah. Akidah dan aga ma saya seperti dimana saya mengikuti agama Allah sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah”. (Ibid, 5/36)

Ibnu Abdul Wahhab menambahkan, “Dan saya bukan—alhamdulillah—mengajak pada madzhab seorang sufi, atau ahli fiqh, atau seorang ahli kalam, ataupun kepada salah seorang imam yang saya muliakan, seperti Ibnul Qayyim, Dzahabi, Ibnu Katsir, dan lainnya. Tapi saya mengajak kepada Allah, tiada sekutu baginya, dan saya mengajak kepada Sunnah Rasul-Nya.” (Ibid, 5/252)

Apakah Penamaan Wahhabi dapat Diterima Secara Ilmiah
Kita sering mendengar istilah Wahhabiyah atau Wahhabi ketika merujuk pada apa yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pertanyaanya, apakah peristilahan ini layak diterima secara ilmiah?

Dalam ilmu Fiqh, kita mengenal empat madzhab atau madrasah, yaitu: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, yang dinisbatkan pada imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Pengikutnya pun disebut dengan istilah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Penisbatan ini diterima dan nyaris hampir tidak ada penolakan karena memang keempat madrasah ini mempunyai pandangan fiqh, dalil argumen (ushul) dan metode yang berbeda. Sekadar contoh, madzhab Maliki menjadikan perbuatan warga Madinah sebagai dalil, dimana hal itu tidak diakui madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi menjadikan Istihsan sebagai salah satu dalil, hal mana itu ditentang oleh madzhab Syafi’i. (Perbincangan tentang hal ini dapat ditemukan dalam berbagai kitab ushul Fiqh, antara lain: Raudhatun Nazhir, karya Ibnu Qudamah yang telah cukup banyak disyarah; Ushul Fiqh, karya Abdul Wahhab Khalaf, dan lainnya)

Apakah Ibnu Abdil Wahhab membawa pemahaman fiqh atau akidah yang baru. Secara fiqh, ia menganut madzhab Ahmad bin Hanbal. Secara akidah, telah kita jelaskan di atas bahwa ia mengikuti Akidah Salafiyah. Pandangan-pandangannya tentang tafsir dan memahami hadits adalah juga mengikuti para imam terdahulu, dimana hal itu tidak keluar dari nash al-Qur’an, hadits, atsar sahabat dan salafus shalih serta ijtihad yang selalu merujuk pada sumber-sumber di atas.

Dalam posisi ini, Ibnu Abdil Wahhab lebih tepat disebut sebagai seorang pembaru Islam (mujaddid) seperti halnya para ulama yang ada di berbagai dunia Islam. Kita mengenal sederetan tokoh seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Abul Hasan Ali An-Nadawi dan bahkan M. Natsir dan Hamka di Indonesia. Tapi hal itu tak membuat orang menyebut istilah Natsiriyah atau Afghaniyah untuk pengikut Natsir atau Jamaluddin Al-Afghani.

Pada saat yang sama kita menemukan aroma tendensius dan berbau fitnah ketika menyebut istilah Wahhabiyah untuk memperhadapkannya dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum Muslimin Indonesia yang berakidah Asy’ariyah atau yang juga menggolongkan diri dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebenarnya, akan terasa lebih elok dan mencerahkan jika upaya dialogis di antara para pegiat akademis di lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti universitas dan pesantren, dilakukan secara ilmiah jauh dari label dan mindset yang mengganggu obyektivitas telaah. Kedewasaan ilmiah ini sangat dinanti, mengingat musuh-musuh Islam akan terus berupaya memecah belah kaum Muslimin dengan segala cara. Hal itu ditempuh, salah satunya, dengan mengenalkan klasifikasi-klasifikasi berbau ilmiah sesungguhnya berniat memecah belah dan menimbulkan prasangka yang tak perlu. Karena itu, lebih arif untuk menggunakan istilah Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab daripada istilah Wahhabiyah atau Wahhabisme. Bahkan kita pun menolak istilah Mohammadanism yang diajukan oleh Sir Hamilton R. Gibb ketika menyebut Islam. Karena Rasulullah mengajarkan pada umatnya tentang dinul Islam, dan bukan agama buatan Muhammad. Maka ketika Ibnu Abdul Wahhab menamakan dakwahnya sebagai dakwah salafiyah atau ahlus sunnah wal jamaah, tentulah penamaan itu lebih tepat dan adil.

Yang menarik dari dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah kolaborasinya dengan penguasa Dar’iyyah dan proses menjelmanya kekuatan dakwah menjadi sebuah kekuatan politik. Hal ini, tak ayal, menimbulkan pergesekan-pergesekan dan interpretasi yang sangat beragam, khususnya dari kalangan yang merasa kepentingannya tergerus oleh kehadiran Ibnu Abdul Wahhab. Kepentingan itu bisa beragam, mulai dari politik, ekonomi bahkan perbedaan mazhab sekalipun. Dominasi mazhab Hambali yang menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi sangat wajar jika menimbulkan pergesekan dan salah paham dari kaum Muslimin yang menganut mazhab lain. Sebagai contoh, mazhab Syafi’i dahulu banyak dianut di Makkah, yang juga menjadi salah satu faktor tersebarnya mazhab ini di Indonesia.

Penggunaan kekuatan militer dalam proses amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Su’ud atas bimbingan Ibnu Abdul Wahhab juga kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melekatkan simbol kekerasan atau –dalam istilah populernya kini—terorisme. Pertanyaannya, ada begitu banyak perang yang terjadi sepanjang sejarah untuk menegakkan misi dan ideologi yang dianut. Ibnu Abdil Wahhab tidak sendiri dalam hal ini. Khususnya, ketika secara ijtihad, tindakan itu memenuhi kecukupan syarat dan kondisi. Lantas, apa yang membedakannya dengan tegaknya berbagai daulah Islam di masa dahulu, dimana hal itu juga melewati serangkaian perang dan pelebaran kekuasaan.

Karena itu, akan lebih arif jika kita kembali kepada esensi. Bahwa jamak terjadi, seorang pembaru dan tokoh berangkat dari situasi dan kondisi yang memengaruhinya. Maraknya praktik syirik dan bid’ah yang di masa Ibnu Abdil Wahhab mendorongnya untuk melakukan gerakan pemurnian akidah. Hal mana langkah ini juga diperlukan di Indonesia, dimana praktik syirik dan bid’ah juga tersebar luas. Sekadar contoh, praktik sesajen ke sungai di Jawa Barat atau memuliakan seekor sapi yang terjadi di Yogyakarta adalah praktik syirik yang harus diluruskan. Tentu dalam konteks Indonesia, dakwah dengan nasihat yang baik serta penjelasan yang kontinyu dan tidak kenal lelah merupakan cara yang paling tepat. Wallahu a’lam. ***